Seorang pria (Jeffrie Gerry) dengan wajah babak belur, pakaian compang-camping, dan ekspresi putus asa duduk di trotoar malam hari, memegang sekantong es di pipinya. Di latar belakang, beberapa adegan kacau terlihat seperti adegan komik—seorang ibu tua mengayunkan tas belanjaannya ke arah Jeffrie, seorang pengendara motor tampak tersesat dengan raut wajah marah, dan sekelompok warga mengeroyoknya karena salah paham. Semua adegan ini ditampilkan dengan gaya dramatis namun kocak, menunjukkan ironi bahwa niat baiknya selalu berujung bencana.
Ketika Niat Baik Berujung Bencana: Kronik Kebaikan yang Salah Sasaran
Konten ini adalah kisah nyata yang dialami langsung oleh Jeffrie Gerry, penulis yang malang namun tetap gigih dalam melakukan kebaikan meskipun dunia sering kali berkonspirasi melawannya.
Bab 1: Sebuah Niat Mulia yang Berakhir Tragis
Jeffrie Gerry adalah tipe orang yang percaya bahwa dunia ini akan lebih baik kalau semua orang sedikit lebih baik. Ia punya moto hidup: "Satu kebaikan kecil bisa mengubah dunia." Maka, ia pun mulai hari itu dengan niat mulia: membantu siapa pun yang membutuhkan, sekecil apa pun masalahnya.
Saat berjalan menuju warung kopi langganannya, ia melihat seorang ibu tua kesulitan membawa kantong belanjaan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menghampiri.
"Biar saya bantu, Bu!" katanya dengan senyum lebar, penuh percaya diri.
Sang ibu kaget dan tanpa sadar mencengkeram tas belanjaannya lebih erat.
"Jangan ambil belanjaan saya! Saya tahu modus kalian!" seru ibu itu sambil menatapnya curiga, hampir melemparkan tomat ke wajahnya.
Jeffrie bingung. "Eh, bukan, Bu! Saya cuma mau bantu..."
"Pergi sana! Saya nggak mau kena hipnotis! Nanti tahu-tahu saya sudah tanda tangan jual rumah saya!"
Jeffrie melangkah mundur dengan wajah masam. Baru juga mulai berbuat baik, sudah dianggap penjahat.
Bab 2: Kebaikan yang Tak Diharapkan
Tidak patah semangat, Jeffrie terus berjalan. Di perempatan jalan, ia melihat seorang pengendara motor kebingungan mencari alamat. Dengan penuh percaya diri, ia mendekat.
"Mas, cari alamat ya? Saya bisa bantu."
Pengendara itu menatapnya, lalu mengangguk. "Iya, Mas. Saya cari Jalan Anggrek No. 15."
Jeffrie mengernyit, mengingat-ingat. "Oh, gampang! Lewat sini aja, lurus terus, belok kanan, lalu belok kiri. Nggak jauh kok!"
Si pengendara berterima kasih dan langsung tancap gas. Jeffrie merasa bangga—sampai beberapa menit kemudian, pria itu kembali dengan ekspresi murka.
"MAS! Saya malah nyasar ke pemakaman! Jalan Anggrek itu ke arah berlawanan! Ini gimana sih?!"
Jeffrie tertawa canggung. "Ups... mungkin saya kebalik. Hehe, maaf ya, Mas. Tapi kalau dipikir-pikir, pemakaman juga tempat yang damai, kan?"
Sebelum pria itu bisa protes lebih lanjut, Jeffrie buru-buru kabur.
Bab 3: Kebaikan yang Berujung Malapetaka
Masih ingin membuktikan bahwa kebaikan bisa mengubah dunia, Jeffrie memutuskan untuk membantu di taman kota. Ia melihat seorang anak kecil menangis sendirian.
"Hei, Nak, kenapa menangis?" tanya Jeffrie dengan lembut.
Anak itu sesenggukan. "Aku kehilangan mamaku..."
Jeffrie merasa ini kesempatan emas untuk menjadi pahlawan. "Jangan takut! Ayo, kita cari mamamu bersama-sama."
Ia menggandeng anak itu dan berjalan mengelilingi taman. Lima belas menit kemudian, seorang wanita berteriak dari kejauhan dengan ekspresi panik.
"Itu dia! Penculik anak saya!"
Jeffrie kaget. Sebelum sempat menjelaskan, sekelompok warga sudah mengepungnya.
"Enggak, saya cuma bantu—"
Terlambat. Seorang bapak berbadan kekar sudah mendaratkan pukulan di bahunya.
"Penculik anak harus dikasih pelajaran!"
Jeffrie mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya erangan. Dalam hujan bogem mentah, ia mulai bertanya-tanya, apakah dunia ini benar-benar layak diselamatkan? Atau mungkin ini tanda bahwa lebih baik ia tidak ikut campur dalam urusan orang lain?
Bab 4: Menyerah? Tidak! Tapi...
Setelah berhasil kabur (dengan baju compang-camping dan wajah babak belur seperti habis ditabrak truk gandeng), Jeffrie bersumpah untuk tidak menyerah. Ia masih punya satu niat baik terakhir sebelum pulang: membantu seorang pengemis tua yang duduk di pinggir jalan.
Ia merogoh dompet dan menyerahkan selembar uang Rp50.000.
"Pak, ini buat makan, ya."
Pengemis itu menatapnya sebentar, lalu berkata, "Oh, terima kasih. Eh, Mas bisa tukar jadi dua lembar Rp20.000 dan satu lembar Rp10.000 nggak? Susah nih nyari kembalian buat parkir."
Jeffrie terdiam. Setelah semua penderitaan hari ini, kini ia mendapati bahwa bahkan dalam dunia kemiskinan pun ada birokrasi kecil-kecilan.
Ia merogoh dompet lagi, namun yang ada hanya uang Rp100.000. Dengan pasrah, ia menyerahkan uang itu.
"Udah, ambil aja Pak. Nggak usah pakai kembalian segala. Saya nggak kuat lagi hari ini..."
Bab 5: Pelajaran Berharga (Atau Tidak?)
Malam itu, Jeffrie duduk di depan televisi dengan sekantong es di pipinya yang lebam. Ia merenung: apa mungkin dunia ini sudah terlalu skeptis terhadap kebaikan?
Atau mungkin, ada semacam algoritma semesta yang memastikan bahwa orang baik selalu mengalami nasib sial lebih dulu sebelum dihargai?
Namun, meskipun hari ini penuh bencana, ia tetap yakin bahwa satu kebaikan kecil, meskipun sering disalahpahami, tetap memiliki makna.
Hanya saja, mungkin besok ia akan lebih hati-hati dalam memilih situasi. Atau, lebih baik lagi, ia akan pasang CCTV dan saksi sebelum berbuat baik, demi keamanan dirinya sendiri.
Toh, dunia ini tak selalu ramah pada niat baik.