Jeffrie Gerry: Di Atas Ranjang, Aku Masih Melawan

jeffriegerry12@gmail.com
0

 

Namaku Jeffrie Gerry. Mungkin kamu membaca tulisan ini di layar ponsel atau laptop sambil duduk santai, atau mungkin sambil menyeruput kopi di pagi hari. Tapi izinkan aku menceritakan bahwa untuk menulis artikel ini, aku tak lagi bisa menggunakan jari-jariku. Aku hanya bisa berbicara, dan tulisan ini adalah hasil kerjasama antara semangatku dan tangan seorang asisten yang setia membantu menerjemahkan suara hatiku ke dalam kata.

Sudah berbulan-bulan aku hanya bisa berbaring. Sejak suatu pagi yang tak akan pernah aku lupakan, tubuhku tak lagi bisa bergerak seperti biasa. Dokter mendiagnosisku terkena stroke dengan sumbatan di batang otak, tepatnya di area pons 1 dan pons 2. Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin hanya seperti nama bagian otak yang rumit. Tapi bagiku, itu adalah awal dari kehidupan yang berubah 180 derajat.

Aku mengalami kelumpuhan. Tubuh ini, yang dulu bisa berlari kecil ke dapur, naik motor ke warung, atau hanya sekadar merapikan halaman rumah, kini tak mampu digerakkan. Bahkan untuk duduk tegak pun terasa seperti mimpi. Yang lebih menyakitkan, aku juga mengalami vertigo sentral. Dunia ini terasa terus berputar, padahal aku hanya tergeletak diam. Sensasi berputar ini bukan hanya tidak nyaman, tapi menyiksa. Bayangkan kamu terperangkap di dalam korsel yang berputar cepat tanpa bisa turun—itulah yang aku rasakan setiap hari.

Tak ada yang mempersiapkanku untuk ini. Aku bukan orang yang lemah. Aku pernah bekerja, berkeluarga, bercanda dengan teman, dan bermimpi seperti manusia pada umumnya. Tapi kini, semua itu terasa jauh. Bahkan sekadar mengangkat kepala terasa seperti mengangkat gunung. Hanya mata, napas, dan suara inilah yang tersisa dari "aku" yang dulu.

Namun… aku belum selesai.

Dari atas ranjang ini, aku masih memandang dunia. Ya, mungkin dunia itu tampak berputar, tapi aku tahu satu hal yang tak berubah: semangat hidupku. Sekuat apapun badai, selama aku masih bisa berpikir, selama masih ada sedikit tenaga untuk berdoa, aku akan tetap bertahan.

Hari-hariku kini tak diisi oleh jadwal sibuk, bukan oleh pekerjaan atau pertemuan. Tapi oleh detik-detik perjuangan. Setiap pagi aku berdoa agar hari itu sedikit lebih ringan dari kemarin. Setiap gerakan kecil yang bisa kulakukan—menggerakkan jari, mengedipkan mata, atau mengucap kalimat yang utuh—adalah kemenangan besar bagiku.

Asistennya, seorang teman yang tak pernah menyerah, selalu mendengarkan. Ia sabar mengetik setiap kata yang keluar dari bibirku yang lemah, menerjemahkan isi hati yang selama ini hanya bisa kupendam. Melalui bantuannya, aku bisa kembali "menyentuh dunia", meskipun hanya lewat tulisan ini.

Menulis ini adalah caraku untuk mengatakan: Aku masih di sini. Aku belum menyerah.

Banyak orang mungkin berpikir hidup seperti ini tidak layak dijalani. Tapi aku percaya, selama aku masih hidup, maka Tuhan masih memberiku kesempatan. Dan kesempatan itu tak akan aku sia-siakan. Meskipun tubuhku lumpuh, pikiranku masih bisa berlari. Meskipun pandanganku berputar, harapanku tetap lurus menuju kesembuhan.

Aku tidak tahu kapan aku bisa bangun lagi. Mungkin minggu depan. Mungkin bulan depan. Mungkin… bahkan lebih lama. Tapi aku percaya bahwa keajaiban tidak selalu datang dalam bentuk yang besar dan mencolok. Terkadang keajaiban adalah napas yang masih mengalir, tangan orang yang memegangku saat aku menangis, atau doa yang terucap dari bibir orang yang belum pernah bertemu denganku, seperti kamu.

Karena itu aku menulis ini, atau lebih tepatnya, aku mengucapkan ini. Dengan seluruh ketulusan hati, aku memohon: doakan aku. Kamu yang membaca ini, siapa pun kamu, di mana pun kamu berada—doamu sangat berarti.

Aku tidak mengharapkan belas kasihan. Yang aku harapkan adalah energi positif, harapan, dan cinta dari sesama manusia. Karena aku percaya, ketika satu orang mendoakan orang lain tanpa pamrih, dunia ini menjadi tempat yang sedikit lebih hangat.

Mungkin esok aku masih akan tetap di atas ranjang ini. Mungkin vertigo itu masih akan membuat dunia tampak seperti pusaran air. Tapi aku akan terus berjuang. Karena aku tahu, aku tidak sendiri. Ada kamu, dan mungkin banyak lainnya yang sedang melalui cobaan serupa, yang membaca tulisan ini dan berkata dalam hati: Aku juga sedang berjuang.

Untuk kalian, aku ingin mengatakan: kita bisa. Pelan-pelan, langkah demi langkah, meski merangkak, kita bisa.

Sampai tulisan ini selesai dibuat—dengan penuh kerja keras, air mata, dan ketulusan—aku masih terbaring tanpa daya. Tapi semangatku tidak sedang rebah. Ia sedang berdiri tegak, memandang langit, dan berkata: Aku akan pulih. Aku akan berdiri lagi. Dan aku akan hidup dengan makna baru.

Jika kamu punya waktu, sejenak saja, ucapkan satu kalimat untukku:

"Tuhan, sembuhkan Jeffrie Gerry. Kuatkan dia. Bangkitkan dia."

Doa kecilmu, adalah cahaya besar di hatiku.


TTD Jeffrie Gerry 24 April 2025 di atas ranjang Rumah Sakit " Immanuel " Bandung

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)