Kampanye Gratis, Janji Mahal
(Ironi Seribu Panggung dan Tiket ke Neraka Demokrasi)
"Utapan mereka semanis madu, sayang harus kita telan bersama empedu."
I.
Pada malam tanpa bintang,
Di panggung kardus berlabel "GRATIS",
Seorang badut berdasi berdiri tegak—
Lidahnya terbuat dari selimut janji,
Lututnya ditekuk hanya pada suara polling.
"Kami akan gratiskan udara!"
teriaknya lantang, disambut tepuk tangan robotik,
Para penonton dibayar nasi bungkus
dan selfie bersama slogan yang tidak makan korban.
Kecuali rakyat.
II.
Gratis sekolah, asal sabar antre tiga generasi.
Gratis rumah, asal rela tidur di brosur.
Gratis kerja, asal kau mau jadi sukarelawan seumur hidup.
Gratis senyum, asal kau bisa pura-pura hidup bahagia
di antara reruntuhan moral dan nota kosong.
Janji dicetak pakai tinta emas,
tapi realitas dikirim lewat faksimili retak.
Mereka bilang, "Kami dengar suara rakyat!"
padahal itu cuma feedback speaker acara konser elit.
III.
Lihat dia melambai dari billboard megah,
Mata setengah merem, hati penuh strategi.
"Karena kami peduli!" katanya,
sambil menandatangani subsidi untuk istana pribadinya.
Ironi jadi menu utama pesta rakyat.
Ia berjanji akan menghapus kemiskinan,
lalu menyapu pemukiman dengan alat berat.
Katanya akan memberi makan si miskin,
dengan sisa pesta lelang proyek fiktif.
IV.
Ah, kampanye—opera sabun tanpa sabun,
Penuh busa janji, licin dan sulit ditangkap.
Bahkan tikus pun malas hadir,
karena sudah kenyang menonton drama pengulangan.
Gratis air—asal kau minum hujan.
Gratis listrik—asal tak hidup.
Gratis pemilu—asal kau tidak memilih.
V.
Panggung kampanye adalah altar tipu daya,
di mana setiap mikrofon adalah cermin kesombongan,
dan setiap sorot lampu adalah tipu sihir
untuk mengaburkan fakta dari opini.
Janji-janji mahal itu tidak bisa dibayar
bahkan dengan separuh umurmu.
Ada yang dijanjikan jembatan ke masa depan,
padahal jalan hari ini saja berlubang parah.
Ada yang menjanjikan langit biru,
padahal catnya sudah luntur oleh korupsi.
VI.
"Mari kita bersama!" kata mereka,
sambil mengunci gerbang keadilan dengan rantai dinasti.
"Mari kita jujur!" katanya,
sambil memoles biodata dengan Photoshop moralitas.
Warga desa jadi konten,
tangis ibu jadi efek suara.
Kemiskinan jadi panggung,
anak-anak kurus jadi ornamen kampanye kemanusiaan.
VII.
Oh, rakyat, betapa mahalnya janji yang katanya gratis,
seringkali dibayar dengan tanahmu,
hutangmu, anakmu yang disuruh mendaftar jadi
konten heroik tanpa naskah keselamatan.
Tapi rakyat suka teater juga, bukan?
Selama popcorn dibagikan gratis,
dan selfie bersama sang pembohong masih dapat like banyak.
VIII.
Kampanye hari ini:
pameran baju kosong dari pemikiran kosong.
Rakyat diundang ke gala janji,
pulang dengan amplop kosong dan harapan bolong.
Para pemimpin menjanjikan langit,
tapi lupa menambal atap.
Mereka bilang akan membangun negeri,
tapi ternyata sedang renovasi citra.
IX.
Lihatlah poster-poster itu,
tersenyum lebih lebar dari kemampuan mereka menepati janji.
Mata mereka bercahaya,
dari lampu sorot, bukan kejujuran.
Mulut mereka manis,
karena sudah terlalu lama mengunyah kata "gratis."
Dan rakyat?
Masih antre di bilik suara,
membawa pena penuh dosa,
mencoblos wajah yang sama,
karena yang beda sudah dilarang cetak baliho.
X.
Maka berpestalah, wahai kalian tukang sandiwara!
Tepuklah dada kalian dengan puisi-puisi semu,
tapi ingat:
rakyat bisa lupa,
tapi sejarah mencatat dengan tinta dendam.
KAMPANYE GRATIS, JANJI MAHAL 2
"Yang gratis bukan janji, tapi tipu daya. Yang mahal bukan pembangunan, tapi pengkhianatan."
🗣️ PUISI DISTOPIA SATIR POLITIK
I.
Wahai para penguasa panggung kardus,
Dengan mikrofon dari pipa bekas dan bendera sumbangan,
Berdirilah kalian di atas reruntuhan logika,
Menyanyikan lagu pujian atas diri sendiri:
"Kami gratiskan segalanya!" teriakmu sambil mencabut nyawa akal sehat rakyat.
Gratis makan! — tapi hanya saat deklarasi.
Gratis sembako! — dengan syarat selfie bersama poster.
Gratis pendidikan! — asal tak banyak bertanya.
Gratis kebohongan! — dan itu yang paling kau sediakan berlimpah.
II.
Mereka datang dengan karavan janji,
beroda karet busuk dan peta masa depan robek.
Mereka menjual masa depan, diskon 70%,
asal kau rela serahkan nalar dan nurani.
Anak-anak kecil dijejer di pinggir jalan,
menyambut konvoi kebohongan dengan balon warna-warni,
sementara ayahnya di PHK diam-diam,
dan ibunya dipekerjakan sebagai penonton bayaran.
III.
Janji yang mereka bisikkan ke telinga rakyat,
adalah lagu nina bobo buat nurani.
"Kami akan hapus kemiskinan!"
Lalu menyapu rumah-rumah kumuh dengan anggaran siluman.
"Kami gratiskan kesehatan!"
Tapi rakyat disuruh sembuh dengan doa dan sabar.
Mereka berikan satu liter bensin,
untuk membakar seluruh cita-cita generasi muda.
Mereka lemparkan beasiswa,
yang tak cukup untuk beli pena apalagi masa depan.
IV.
Oh kampanye! Karnaval absurditas nasional,
dengan marching band dari pasukan pemuja dinasti.
Ada badut berdasi, ada penceramah bertitel,
semuanya menyanyikan satu lagu: "Pilih kami, kami suci!"
Mereka berdoa dalam iklan,
berzikir di spanduk,
tapi menghitung suara pakai kalkulator penuh dosa.
Mereka bilang "amanah!",
tapi kontrak politik sudah ditandatangani setan-setan tua.
V.
Gratis jalan tol!
Asal rakyat rela dipinggirkan.
Gratis listrik!
Asal hidupmu mati pukul 10 malam.
Gratis kuota!
Tapi hanya untuk iklan kampanye mereka.
Satu demi satu mereka berdiri,
menawarkan langit biru dalam botol plastik retak.
"Kami ini harapan!" kata mereka,
sambil menulis angka di kuitansi dosa kolektif.
VI.
Di atas panggung, mereka menari di atas bangkai harapan,
menginjak rasa malu seperti debu yang tak penting.
Senyum mereka seperti karet bekas — elastis, murahan,
mata mereka seperti lubang sedot pajak rakyat.
Kampanye bukan lagi soal visi,
tapi adu akrobatik kata,
adu derma palsu,
dan lomba amplop berisi kematian idealisme.
VII.
Mereka berdiri di kampung-kampung dengan tangan terbuka,
tapi di baliknya tersembunyi catatan utang,
rencana penggusuran, dan proyek siluman.
Mereka menyebut diri "pelayan rakyat",
sambil mempekerjakan rakyat jadi pelayan rumah tangga mereka.
Gratis air bersih!
Asal bisa minum air mata sendiri.
Gratis vaksin!
Asal tak protes kalau pabriknya punya sepupu mereka.
Gratis lapangan kerja!
Asal kau rela jadi relawan selama 1000 tahun.
VIII.
Dunia jadi panggung penuh naskah kebohongan.
"Kami mencintai rakyat!" — di depan kamera.
"Kami membenci rakyat cerewet!" — di grup WA tertutup.
Demokrasi berubah jadi parodi.
Debat berubah jadi sinetron jam prime time.
Dan rakyat? Jadi rating.
IX.
Orang-orang antri di TPS dengan semangat setengah mati.
Pilihan hanya dua:
penipu lama atau penipu baru yang sedang magang.
Mereka masuk bilik suara dengan harapan,
keluar dengan amplop dan rasa malu.
Pena di tangan rakyat bukan lagi pena,
tapi simbol tawar-menawar nasib.
Hak suara dibayar nasi kotak dan janji kerja fiktif.
X.
Dan ketika kampanye selesai,
panggung dibongkar,
bendera dikemas,
sampah janji ditinggal berserakan.
Politisi pulang ke istana,
rakyat pulang ke hutang dan jalan becek.
Mereka bilang: "Kita akan maju bersama!"
Tapi ternyata "kita" cuma berlaku di baliho.
Mereka bilang: "Kami adalah kalian!"
Tapi ternyata mereka hanya menyamar jadi manusia.
XI.
Maka, berdirilah rakyat,
bukan sebagai pemilih,
tapi sebagai saksi kejahatan kolektif berjubah demokrasi.
Bukan untuk menonton,
tapi untuk mencatat setiap dusta,
setiap sen yang hilang,
setiap air mata yang jadi komoditas.
Mereka gratiskan semuanya,
kecuali kebenaran.
Mereka janjikan segalanya,
kecuali kejujuran.
XII.
Wahai negeri yang dijajah janji,
Apakah kau masih percaya pada panggung gombal ini?
Apakah lidah politisi lebih kau percaya daripada tetes peluh petani?
Apakah kau lupa bahwa janji gratis itu,
telah membunuh harapanmu berkali-kali?
Bangkitlah, rakyat!
Jangan biarkan panggung kosong itu
diisi oleh suara-suara sirkus gelap.
Ceritakanlah pada anak-anakmu bahwa pemilu ini
pernah jadi panggung komedi kelam yang berakhir tragis.
🔍 REFLEKSI PENUTUP
Puisi ini menyindir keras budaya kampanye politik yang penuh janji manis tapi kosong makna. "Kampanye Gratis, Janji Mahal" adalah ironi paling telanjang dari sistem yang menjual harapan dengan harga palsu. Sindiran ini menyasar para politisi oportunis, tetapi juga mengetuk kesadaran rakyat agar lebih kritis dan tidak lagi menjadi korban dari sandiwara demokrasi semu. Pesan moralnya: jangan pernah tertipu oleh "gratis", jika itu dibayar dengan masa depanmu.