“Kotak Suara, Isi Seribu Janji — Tapi Tak Satu Milik Kami”
💭 Pengantar Pendek:
“Rakyat memilih... lalu disingkirkan secara elegan. Begitulah demokrasi saat berubah jadi opera sabun.”
📜 Puisi Satir: “Kotak Suara, Isi Seribu Janji — Tapi Tak Satu Milik Kami”
I. Simfoni Pemilihan Umum
Tuan dan puan, mari berkumpul!
Di panggung pesta rakyat nan semarak,
Kita bersulang untuk suara,
Yang dijual murah, dibeli pakai pelukan palsu dan nasi kotak.
Di podium megah para aktor bicara,
Penuh janji manis seperti permen obat batuk:
Menyembuhkan kekecewaan... sementara.
Tapi efek sampingnya: ketagihan pada kebohongan yang sama.
II. Rakyat—Sang Bintang Figuran
Namaku disebut dalam baliho:
“Untukmu, rakyat tercinta!”
Tapi saat kuberteriak kelaparan,
Aku hanya bunyi latar:
Ssst... suara rakyat bikin noise polling!
Kupilih dia—karena katanya,
Dia dari kampung sebelah.
Tapi begitu duduk di kursi empuk,
Kampungnya pindah ke bursa saham.
III. Surat Suara: Surat Wasiat Tanpa Waris
Ada bilik...
Tempat harap ditaruh seperti kertas bekas,
Dilipat, disobek, dihitung,
Lalu dibakar dalam rapat tertutup.
“Kau sudah memilih,” katanya bangga.
Lalu kenapa hidupku dipilihkan?
Gulaku, gas ku, dan bahkan rasa kecewaku,
Sudah dijadwalkan dalam sidang parlemen.
IV. Wakil Rakyat, Tanpa Rakyat di Dalamnya
Wakil itu katanya wakilku,
Tapi aku tak pernah bertemu dengannya,
Kecuali di Instagram Story
Saat dia selfie bareng menteri,
Dengan caption: “Bersama rakyat, dari hotel bintang lima.”
Dia bilang akan membangun jembatan,
Padahal yang runtuh jalan hatiku.
Dia bawa koper berisi proposal rakyat,
Tapi isinya: honor perjalanan dinas.
V. Demokrasi: Drama Kosmetik
Mereka berdiskusi panjang,
Tentang siapa yang paling pantas disalahkan.
Mereka membuat undang-undang,
Yang tak bisa dipahami bahkan oleh penciptanya.
Parade debat kusir disiarkan nasional,
Rakyat menonton dengan camilan hutang,
Sambil berharap salah satu dari mereka,
Mungkin, tanpa sengaja, menyebut nama kampungnya.
VI. Ironi adalah Lagu Kebangsaan Baru
Kami demo, dibalas tawa.
Kami minta transparansi, dibalas spanduk.
Kami tanya ke mana anggaran,
Mereka jawab: "Lihat TikTok saya, semua ada di situ."
Anakku tanya:
“Ayah, kenapa semua jalan bolong?”
Kupeluk dia, kubilang pelan:
“Itu lubang harapan yang ditinggalkan janji.”
VII. Pemilu: Pemilihan Lucu
Ada yang menangis karena tak terpilih,
Padahal ia sudah memesan villa kemenangan.
Ada yang tertawa,
Karena hasilnya sesuai strategi siluman.
Dan rakyat?
Kami tertawa juga—
Bukan karena bahagia,
Tapi karena air mata sudah habis dipakai membayar listrik.
VIII. Rakyat Dipilih, Tapi Bukan Pilihannya
Aku dipilih, katanya.
Lalu kenapa aku tak boleh bicara setelahnya?
Katanya ini demokrasi,
Tapi suara rakyat cuma disetel sekali lima tahun — seperti alarm yang tak bisa diulang.
Mereka ajak kami berdialog—
Dalam forum mewah, sambil menyeruput kopi asal luar negeri,
Padahal kami cuma ingin air bersih,
Dan sedikit jalan agar anak-anak kami bisa ke sekolah tanpa berenang.
IX. Parodi: Drama Lima Tahunan
Tiba-tiba, wajah-wajah familiar muncul lagi,
Dengan kaus oblong dan senyum bersahabat yang dulu tak sempat terlihat.
Mereka datang bukan karena cinta,
Tapi karena kalender sudah berkata: “Waktunya panen suara.”
Mereka bagi payung saat musim hujan,
Lalu membawa pulang atap rumah kami.
Mereka beri sembako satu kali,
Lalu tarik pajak tiga kali lipat tahun berikutnya.
X. Panggung Boneka Politik
Lihat itu!
Kursi-kursi rapat seperti kursi goyang bayi —
Hanya untuk menenangkan ego yang bising.
Dan para politisi seperti boneka kayu,
Digoyang oleh tangan-tangan tak terlihat bernama “konsorsium donatur”.
Satu bicara tentang "visi",
Satunya lagi bicara "misi",
Dan rakyat?
Kami sibuk bertahan hidup dari revisi—harga sembako.
XI. Dewan yang Tak Pernah Menyapa
Kantor dewan itu tinggi dan ber-AC,
Sementara suara rakyat disaring oleh sekuriti.
Mereka bilang:
“Kami membuka aspirasi,”
Tapi pintunya selalu terkunci rapat,
Dan yang bisa masuk hanya yang punya undangan plus stempel politik.
Kubilang: "Kami butuh pupuk."
Mereka jawab: “Kami sedang bahas RUU Lahan Ibu Kota Baru.”
Kubilang: “Kami butuh jaminan kesehatan.”
Mereka jawab: “Nanti dibahas, setelah rapat pansus jalan tol selesai.”
XII. Judul Panggung: Komedi Hitam Berwarna Emas
Panggung ini mewah.
Penuh aktor berbakat dalam seni pura-pura peduli.
Mereka menangis saat debat TV,
Lalu tertawa di lounge eksekutif, sambil bersulang pakai pajak rakyat.
Dunia maya penuh dengan slogan,
Tapi dunia nyata penuh dengan lubang jalan.
Satu bilang: “Kami kerja untuk rakyat!”
Padahal pekerjaannya: merawat citra, bukan rakyat.
XIII. Sandiwara yang Disiarkan Langsung
Mereka berdebat panjang soal kata “dan” atau “atau” dalam undang-undang,
Sementara kami berdebat soal beli beras atau bayar sekolah.
Mereka berteriak soal moralitas,
Padahal rekeningnya gemuk karena manipulasi halus:
Bukan korupsi, tapi "pengalihan anggaran berbasis konsensus elite".
Satu partai bicara soal cinta tanah air,
Tapi tanah air dijual per meter pada pemilik saham luar negeri.
Mereka bilang: “Kami cinta negeri ini,”
Tapi anak-anak mereka sekolah di luar,
Berharap suatu hari bisa jauh dari keputusan yang mereka buat sendiri.
XIV. Lelucon Bernama Keadilan
Kubawa kasus tanahku ke kantor wakilku,
Laporan ku disambut hangat… oleh satpam.
Disuruh isi formulir,
Yang akhirnya dibuang ke dalam map bertuliskan:
“Belum Prioritas.”
Keadilan itu katanya buta,
Tapi sepertinya ia juga tuli dan pura-pura mati.
Karena hanya bisa melihat saat ada amplop di meja,
Dan hanya mendengar jika dibisikkan dari kursi elite.
XV. Pendidikan dan Parodi Logika
Anakku belajar tentang demokrasi,
Tapi tak bisa bertanya tentang banjir yang datang tiga kali seminggu.
Gurunya bicara soal Pancasila,
Sementara ia tak digaji tiga bulan karena dana BOS tersangkut di sistem.
Mereka bilang pendidikan adalah prioritas,
Tapi anggarannya selalu jadi korban potong-potongan.
Satu proyek pelatihan ‘digitalisasi desa’,
Malah berujung beli laptop rusak yang tak bisa nyala.
XVI. Politik Identitas: Festival Tahunan
Tiba masa kampanye,
Tiba pula parade kata-kata suci.
Semua mendadak jadi agamawan, nasionalis, pahlawan,
Kadang dalam satu pidato sekaligus.
Tapi begitu menang,
Semua simbol itu kembali disimpan di laci.
Diganti dengan lencana proyek, tender, dan saham keluarga.
Katanya memperjuangkan rakyat,
Padahal yang diperjuangkan: lahan tambang dan akses bea cukai.
XVII. Ironi Terakhir: Rakyat yang Lupa Diri
Dan ironinya, kami pun bersorak lagi.
Mengulang janji yang sama,
Membeli mimpi dengan harga promo,
Menonton panggung dan membayar tiketnya dengan keringat sendiri.
Karena kami pun... lelah berpikir.
Karena kami pun... sudah biasa kecewa.
Dan karena kami pun... diajarkan sejak lama:
Bahwa perubahan adalah dongeng untuk anak-anak yang terlalu banyak membaca.
🪞 Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah cermin retak dari pesta demokrasi yang tampaknya meriah, namun menyembunyikan duka kolektif rakyat kecil yang hanya menjadi alat legitimasi. Sindiran ini ditujukan kepada mereka yang mengaku wakil, namun tak pernah mewakili. Kepada mereka yang mengklaim suara rakyat, namun hanya mendengarkan gema dompetnya sendiri.
Puisi ini adalah potret absurd tentang demokrasi yang kehilangan makna di tangan para oportunis. Sebuah dunia di mana rakyat dipanggil hanya saat dibutuhkan, lalu dilupakan dengan cara yang sangat elegan. Satir ini menyasar bukan hanya para elit yang mempermainkan kekuasaan, tapi juga rakyat yang kadang terlalu cepat lupa, terlalu mudah terbuai retorika, dan terlalu pasrah pada sistem yang terus mengecewakan.
Pesan moralnya?
Kita harus berhenti jadi penonton dalam drama ini.
Sudah waktunya rakyat bukan sekadar dipilih,
Tapi memilih kembali makna dari suara itu sendiri.
Karena dalam sistem yang katanya dari, oleh, dan untuk rakyat,
Kita tak boleh terus-menerus hanya menjadi bagian dari "dan"-nya saja.