Menjual Rasa Kasihan (Purpurmis) Pura-Pura Miskin

jeffriegerry12@gmail.com
1


Berikut adalah ilustrasi satir yang menggambarkan seorang pria berpakaian lusuh di atas jas mahal, berpura-pura menjadi pengemis di tengah kota, sementara mobil mewah terparkir di dekatnya

 PUR-PUR MIS: Pura-Pura Miskin


Bab 1: Keterkejutan Seorang Karyawan Pas-Pasan

Jeffrie Gerry, seorang karyawan biasa dengan gaji pas-pasan, menghela napas panjang saat melihat saldo rekeningnya di ATM. Angka yang terpampang di layar membuatnya ingin menangis, tapi sebagai lelaki yang sudah cukup terlatih menghadapi kenyataan hidup, ia hanya menghela napas panjang dan berkata dalam hati, "Yah, setidaknya masih cukup buat bayar kontrakan bulan ini."

Ia menatap motornya, Honda Vario 125 cc tipe lama, yang semakin renta seperti dompetnya. Joknya mulai sobek, knalpotnya bergetar seperti alarm rumah yang rusak, dan bensinnya sering kali lebih kering dari tenggorokannya setelah menerima slip gaji.

Di tengah kegalauan ekonomi, Jeffrie punya kebiasaan baru: mengamati dunia di sekitarnya dengan lebih teliti. Dan hasilnya? Keterkejutan yang luar biasa!


Bab 2: Tukang Minta-Minta yang Lebih Kaya dari Bosnya

Setiap pagi sebelum berangkat kerja, Jeffrie sering melihat seorang pengemis tetap di pinggir jalan dekat minimarket. Orang itu, sebut saja namanya Pak Sabar, selalu duduk dengan wajah memelas, tangan dijulurkan, sambil merintih, "Pak, Bu, sedekahnya... saya sudah tiga hari tidak makan..."

Jeffrie, yang sudah tiga hari juga cuma makan mie instan dan nasi kecap, jadi merasa terwakili. Tapi ada sesuatu yang aneh. Suatu pagi, ia melihat Pak Sabar pulang. Bukannya masuk ke gang sempit atau rumah kardus, ia malah naik motor matik terbaru yang lebih kinclong dari Vario Jeffrie. Lebih mencengangkan lagi, ada seseorang yang menunggunya—istri dan anaknya yang berpakaian cukup rapi.

Jeffrie mendekati tukang parkir minimarket, bertanya dengan nada penasaran, "Bang, itu pengemis kok motornya lebih bagus dari saya?"

Tukang parkir itu terkekeh. "Oh, itu mah udah biasa, Bang. Itu penghasilannya bisa lebih gede dari bos lu di kantor!"

Jeffrie terperanjat. "Serius, Bang? Kok bisa?"

"Ya iyalah! Bayangin aja, sehari dia bisa dapet ratusan ribu, kadang lebih! Apalagi kalau bawa anak kecil buat nambah dramatis. Pulangnya naik motor, kalau weekend naik mobil. Lu kerja kantoran aja masih ngontrak, dia rumahnya tiga lantai di kampung!"

Jeffrie merasa seperti ditampar kenyataan. Jadi selama ini dia kerja banting tulang, lembur sampai mata panda, dan masih harus nyicil motor tua, sementara ada orang yang cukup duduk mengiba, dan hidupnya jauh lebih enak?


Bab 3: Ajang Drama Jalanan

Setelah peristiwa itu, Jeffrie jadi lebih jeli mengamati para Pur-Pur Mis alias Pura-Pura Miskin. Salah satu yang paling epik adalah seorang pria tua yang pura-pura pincang di siang hari, tapi di malam hari lari sprint ke warung kopi.

Ia melihat lelaki itu sering mangkal di perempatan lampu merah, kakinya dibebat perban, tangannya bergetar seperti daun di tiupan angin, dengan raut wajah penuh kesedihan. "Tolong, sedekah buat makan..."

Tapi suatu malam, saat Jeffrie pulang lembur dan mampir ke warung kopi, ia melihat pria itu membuka perbannya, meluruskan kakinya, dan berjalan santai tanpa masalah.

Jeffrie tidak tahan lagi. Ia menghampiri si lelaki dengan wajah tak percaya. "Pak, tadi siang pincang, sekarang lancar jaya? Ini kaki apa sinyal WiFi?"

Lelaki itu hanya tertawa kecil. "Nak, kalau kerja keras belum tentu kaya, lebih baik kerja cerdas."

Jeffrie mengelus dada. Begitu banyak orang yang rela menipu demi rasa kasihan, sementara ia sendiri masih berjuang sekuat tenaga hanya untuk bertahan hidup.


Bab 4: Pengemis dengan Tanah Berhektar-hektar

Suatu hari, Jeffrie mendapat kabar mengejutkan. Ia pergi ke kampung halamannya untuk menghadiri hajatan, dan di sana ia bertemu seorang lelaki yang wajahnya familiar. Setelah beberapa saat berpikir, ia baru sadar: itu pengemis yang sering dilihatnya di kota!

Namun kali ini, si pengemis sedang mengenakan pakaian santai di halaman rumah besar. Ada mobil terparkir di garasi, sawah membentang luas di belakang rumahnya, dan beberapa pekerja sedang sibuk mengurus kebunnya.

Jeffrie mendekatinya dengan ekspresi heran. "Pak... kok... kok... rumahnya kayak istana?"

Si pengemis terkekeh. "Wah, kamu dari kota ya? Iya, saya punya tanah lumayan di sini. Tapi kan kalau kerja bertani lama hasilnya. Mendingan cari tambahan di kota. Enak, modal muka melas, hasil besar!"

Jeffrie hampir pingsan. Jadi ini yang disebut Pur-Pur Mis sejati. Orang yang pura-pura miskin, padahal asetnya lebih banyak dari yang memberi sedekah.


Bab 5: Refleksi Seorang Karyawan Pas-Pasan

Malam itu, di kamar kontrakan kecilnya, Jeffrie merenung. Ia adalah seorang pekerja yang setiap hari membanting tulang, tapi tetap harus menghitung recehan sebelum membeli makan. Sementara itu, ada orang yang hanya dengan menjual rasa kasihan, bisa hidup lebih layak, bahkan mewah.

Ia bertanya dalam hati, "Apa aku salah memilih jalan hidup? Apa seharusnya aku ikut-ikutan pura-pura miskin?"

Tapi kemudian ia sadar. Ada harga yang harus dibayar untuk integritas. Ia mungkin tidak sekaya mereka, tapi ia bisa tidur dengan tenang tanpa merasa harus menipu orang lain.

Namun satu hal yang pasti, dunia ini memang penuh ironi. Yang benar-benar miskin sering tidak dapat bantuan, sementara yang pura-pura miskin malah mendapat limpahan rezeki.

Dengan senyum getir, Jeffrie menatap langit-langit kamarnya. "Besok aku harus kerja lebih keras lagi... atau, mungkin aku perlu belajar seni berwajah melas?"

Lalu ia tertawa kecil, karena sadar betapa absurdnya dunia ini.


Pesan Moral:
Dunia ini memang tidak selalu adil. Ada orang yang benar-benar membutuhkan, tapi justru tak mendapat bantuan. Ada yang pura-pura kesusahan, tapi malah hidup lebih nyaman. Pada akhirnya, kita yang harus memilih: apakah ingin tetap bekerja keras dengan harga diri, atau ingin menjadi aktor dalam drama jalanan?

Jeffrie memilih untuk tetap menjadi dirinya sendiri, walaupun dompetnya sering kosong. Bagaimana dengan kita?

Posting Komentar

1Komentar

Posting Komentar