"Telunjuk Tuhan, Suara Rakyat?"
(Demokrasi di Ujung Jari Telunjuk)
"Kata mereka, semua suara setara—selama masih bisa ditekan dengan jari telunjuk yang bersih, bukan bercak darah."
Puisi Satir: Demokrasi di Ujung Jari Telunjuk
I. Tikungan Awal di Jalan Menuju Kotak Suci
Di ruang sakral bernama bilik suara,
rakyat mengantri demi secarik harapan—
yang dicetak tipis di kertas pilihan,
lalu dilipat,
dilipat lagi,
dan akhirnya dimasukkan…
ke dalam kotak pandora berstiker Garuda.
Senyum petugas KPPS seperti Tuhan kecil,
menunggu jari telunjukmu disucikan tinta,
seolah berkata:
"Kau sudah memilih, maka jangan mengeluh!"
Padahal baru juga disuruh pilih
antara kucing lumpuh dan anjing bisu.
II. Parade Boneka di Jalan Demokrasi
Mari tepuk tangan,
untuk para calon yang sedang berorasi
dengan mikrofon bersubsidi,
menyuarakan janji yang disponsori oleh janji sebelumnya.
Mereka berbicara lantang,
tapi lidahnya milik tim sukses.
Wajah mereka di baliho lebih besar dari hasil kerja mereka.
Dibelakang senyum manis itu:
utang janji, politik warisan, dan operator seluler.
"Masa depan di tangan Anda!" katanya,
sambil menyalammu dengan tangan yang sudah tanda tangan kontrak sejak lama.
III. Telunjukmu, Tuhanku
Telunjuk,
yang dulu menunjuk langit
kini dipakai untuk menunjuk warung
yang paling banyak bagi-bagi sembako.
Telunjuk,
yang katanya simbol kesadaran politik,
kini cuma jadi tanda kamu pernah ikut nyoblos
biar bisa selfie:
"Udah nyoblos ya guys, jangan golput dong, sayang suaranya~"
Jari itu,
tak pernah baca visi misi.
Tapi lancar scroll TikTok kampanye.
IV. Surga Setelah Coblos
Setelah tinta mengering,
janji ikut menguap.
Baliho diturunkan,
sampah janji dibungkus dalam plastik hitam
bersama suara-suara kita yang dikemas jadi statistik.
Rakyat kembali ke rutinitas:
berjalan di jalanan bolong,
melewati sekolah ambruk,
sambil nonton berita korupsi berjamaah
dengan popcorn dari bansos.
“Tenang saja,” kata elite dengan dasi palsu.
“Kita sudah demokratis kok,
lihat saja hasil survei yang kami biayai sendiri.”
V. Komedi di Senayan
Lihatlah para wakil yang dipilih rakyat:
Mereka debat soal gaji naik,
bukan harga sembako.
Mereka sibuk rapat studi banding ke Paris,
lalu bawa pulang oleh-oleh berupa brosur.
Sementara rakyat debat di warung kopi,
tentang siapa lebih banyak makan nasi aking tahun ini.
VI. Ujung yang Mengiris
Demokrasi kita sudah seperti kopi sachet.
Instan, manis, dan bikin jantung deg-degan.
Siapa yang tak suka?
Semua bisa jadi pemimpin
asal viral dulu di medsos,
asal punya backingan ormas,
asal punya iklan sebelum FTV.
Di ujung telunjukmu, katanya ada harapan.
Tapi siapa yang mengontrol tangan itu?
Keluarga?
Bos?
Atau kuota internet dari calon legislatif?
VII. Epilog di TPS Tanpa Nama
Pada akhirnya,
demokrasi tak lagi tentang kebebasan memilih,
tapi tentang siapa paling cerdik menyetir telunjukmu.
Tentang siapa yang sanggup membungkus janji
dalam bentuk nasi kotak dan amplop.
Dan kita?
Masih percaya suara kita suci,
padahal kita hanya menyalakan lampu panggung
untuk drama lima tahunan
yang aktornya sudah hafal dialog sejak Orde Baru.
🪞 Refleksi: Demokrasi, Siapa Pemilik Sebenarnya?
Puisi ini menyindir ironi demokrasi di era digital dan visual:
saat jari telunjuk rakyat jadi simbol suara,
tapi arahnya ditentukan oleh aktor di balik layar—yang entah itu algoritma, influencer politik, atau pemilik partai.
Sindiran ini menyasar pada:
Para pemilih pasif yang hanya "ikut-ikutan",
Calon pemimpin yang penuh basa-basi tapi miskin aksi,
Dan sistem yang membiarkan suara dibeli lebih murah dari pulsa internet.
Pesan moralnya sederhana tapi pedas:
Jangan bangga hanya karena sudah mencoblos,
tapi tanyakan juga, apakah kamu benar-benar memilih…
atau hanya sedang ditekan oleh jari orang lain?
VIII. Demokrasi Ala Filter Instagram
Demokrasi hari ini seperti filter selfie:
tak pernah jujur pada wajah asli.
Kita pilih berdasarkan feed, bukan rekam jejak.
Yang followers-nya banyak, dianggap paling layak.
Kampanye lewat TikTok,
janji lewat Twitter,
debat pakai caption,
dan kalau tersudut: bilangnya "akun saya di-hack, ya..."
Tiba-tiba semua jadi religius,
berdoa di kamera,
menyumbang di konten,
mencium bayi sambil lihat ke arah drone.
Lalu kita terharu,
ikut komen:
“Semoga Bapak terpilih. Aamiin.”
Padahal kita gak kenal,
dan dia gak peduli siapa kita.
IX. Lima Menit di Bilik, Lima Tahun Menyesal
Mereka bilang: "Satu suara sangat berarti."
Benar juga.
Satu suara bisa membuat satu tikus besar menang,
lalu menggerogoti anggaran sampai tulangnya pun raib.
Lima menit di balik tirai,
kita menentukan masa depan
yang dikendalikan oleh orang-orang yang tak paham masa kini.
Seakan demokrasi adalah lotere,
dan kita sedang berharap angka hoki.
Padahal banyak di antara kita memilih
karena yang satu saudaranya teman bos,
yang satu lagi orang sekampung neneknya.
X. Debat ala Acara Komedi
Lihat debat capres di layar kaca,
mirip ajang stand-up comedy tanpa punchline.
Yang satu banyak janji,
yang satu banyak "data",
yang satu lagi banyak gaya.
Lalu penonton tepuk tangan,
karena ada yang tersinggung lebih dulu,
bukan karena ada solusi.
Yang bertanya dianggap nyinyir,
yang menjilat dianggap loyal.
Yang diam justru dipromosikan,
karena katanya:
“Diam itu emas, apalagi kalau bisa dibentuk jadi cincin kekuasaan.”
XI. Setelah Menang, Janji Tinggal Kenangan
Begitu menang,
papan nama diganti,
plat mobil diganti,
tapi perhatian pada rakyat?
Tetap sama: nihil.
Janji air bersih berubah jadi air mata.
Janji jalan mulus berubah jadi lubang resapan anggaran.
Janji pendidikan gratis berubah jadi kertas fotokopian bertumpuk.
Rakyat menagih,
tapi katanya:
“Sabar, pembangunan butuh waktu.”
Padahal dulu,
menagih suara tak perlu waktu—hanya perlu amplop dan empati palsu.
XII. Jari-Jari yang Dipatahkan Sistem
Tidak semua telunjuk bisa menunjuk.
Banyak yang sudah patah,
karena memilih pemimpin
berarti kehilangan pekerjaan,
kehilangan subsidi,
bahkan kehilangan keamanan.
Di desa terpencil,
banyak jari yang memilih diam,
karena suara mereka hanya dihitung,
bukan didengar.
Dan yang lebih tragis:
banyak yang diajarkan dari kecil,
bahwa pemilu adalah ibadah,
padahal lebih sering jadi ritual pengorbanan logika.
XIII. Demokrasi di Grup WhatsApp Keluarga
Demokrasi juga hidup—dan mati—di grup WhatsApp keluarga.
Di sana, siapa yang paling banyak kirim broadcast
berhak menentukan opini kolektif.
Bapakmu dulu mendukung A,
karena katanya A lebih islami.
Kakakmu pilih B,
karena katanya B cinta rakyat.
Tapi di akhir hari,
semua sepakat memilih yang bagikan pulsa.
Dan kita sebut itu:
“Kebebasan memilih menurut nilai-nilai keluarga.”
XIV. Cinta yang Terpaksa
Demokrasi hari ini seperti pacaran settingan,
semua terlihat mesra di depan kamera,
tapi penuh ketegangan di balik layar.
Partai koalisi bilang:
“Kami bersatu demi rakyat.”
Tapi saling tikam waktu rebut kursi menteri.
Pemilih seperti penonton sinetron:
menonton drama dengan emosi,
tapi tak pernah tahu siapa yang nulis skrip.
XV. Telunjuk Terakhir
Mungkin suatu hari nanti,
jari telunjuk kita akan menua.
Tinta pemilu tak lagi menempel,
karena teknologi sudah mengganti bilik suara
dengan sidik jari dan scan wajah.
Tapi ingat:
meskipun teknologinya berubah,
akal sehatmu jangan ikut berubah bentuk.
Jangan biarkan demokrasi jadi seperti es krim:
lumer karena terlalu lama dijilat oleh elite.
Jangan biarkan jari telunjukmu
hanya jadi ornamen foto di Hari Pemilu,
tanpa menyadari siapa sebenarnya yang sedang kamu beri kekuasaan.
🪞Refleksi Akhir: Satir Cinta untuk Demokrasi
Puisi ini adalah bentuk cinta—cinta yang getir dan lucu—untuk demokrasi yang katanya milik rakyat,
tapi sering terasa seperti lelucon internal elite.
Sindiran ini menyasar semua:
yang memilih tanpa pikir,
yang mencalonkan diri demi jabatan,
dan sistem yang membungkus ketidakadilan dengan pita bernama "prosedur sah".
Nilainya?
Kritik adalah bentuk cinta yang tak buta.
Dan satire adalah peluru tajam yang dibungkus senyuman.
By Jeffrie Gerry