Jeffrie Gerry duduk di sebuah kafe dengan secangkir kopi hitam. Pikirannya melayang ke seorang teman lama yang dulu pernah begitu ia kagumi, tapi kini hanya meninggalkan kisah tragis yang penuh ironi. Teman itu bernama SomKol—singkatan dari Sombong Konyol. Bukan nama asli, tapi julukan yang sangat cocok untuk seseorang yang merasa dunia akan runtuh jika ia tak ada.
SomKol dan Dunia yang Berlutut Padanya
SomKol adalah contoh manusia yang selalu merasa paling di dunia. Paling kaya, paling berkuasa, paling pintar, paling benar. Jika ada seminar tentang kesombongan, ia pasti jadi keynote speaker-nya.
Saat kuliah dulu, Jeffrie ingat betapa SomKol suka memamerkan segala miliknya. Mobil mewah? Ada. Jam tangan seharga rumah? Pakai. Teman-teman? Hanya mereka yang bisa mengangkat gengsinya. “Manusia itu ada kasta-kastanya, Jef. Kalau lo miskin, ya udah, nasib lo jadi budak gue,” ucapnya suatu hari dengan tertawa congkak.
Jeffrie hanya tersenyum pahit. Ia tahu roda kehidupan selalu berputar, tapi SomKol percaya bahwa ia adalah poros dunia.
Ketika mereka beranjak dewasa, SomKol makin menjadi. Ia sukses dalam bisnis, naik jabatan di perusahaan besar, dan hartanya bertambah. Tapi satu hal yang tak bertambah: kesadarannya akan kefanaan hidup. Baginya, uang adalah Tuhan, kekuasaan adalah takdir, dan orang miskin? Hanya figuran di dunia yang ia anggap miliknya.
Tuhan? Siapa Itu?
SomKol tak hanya sombong, tapi juga lupa bahwa ia hanya manusia. “Tuhan? Kalau Dia ada, kenapa orang miskin tetap miskin? Gue kaya karena usaha sendiri, bukan karena Tuhan,” katanya sekali waktu sambil menyesap anggur mahal di pesta ulang tahunnya.
Jeffrie menggelengkan kepala. “Lo pikir lo abadi, Som?”
SomKol terkekeh. “Jef, 100 tahun lagi gue masih dikenang. Nama gue ada di gedung, buku sejarah, mungkin juga di planet lain kalau Elon Musk berhasil bawa manusia ke Mars. Lo sendiri? 100 tahun lagi, udah jadi debu.”
Ironi memang selalu punya cara mengajarkan sesuatu dengan kejam. Dan pelajaran itu datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
Ketika Hidup Menertawakan SomKol
Pada usia 50, SomKol masih seperti raja. Tapi kemudian, satu hal yang tak bisa ia beli datang: sakit.
Didiagnosis kanker stadium akhir, hartanya mendadak tak ada gunanya. Dokter terbaik, rumah sakit terbaik, semua dicoba. Tapi kematian tak pernah peduli seberapa kaya seseorang. Dan yang lebih menyedihkan? Ia sendirian.
Selama hidupnya, ia mengumpulkan harta, bukan kebaikan. Ia menimbun kekayaan, bukan kasih sayang. Saat sakit, tak ada yang benar-benar peduli padanya. Anak-anaknya hanya menunggu warisan. Teman-temannya? Hilang entah ke mana.
Jeffrie, meskipun sudah lama tak berhubungan, datang menjenguk. “Bagaimana rasanya, Som? Masih yakin lo lebih hebat dari Tuhan?”
SomKol tak menjawab. Matanya kosong. Untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang tak pernah ia pikirkan seumur hidup: ia bukan siapa-siapa.
100 Tahun Lagi, Dimana Kau, SomKol?
Beberapa bulan kemudian, SomKol meninggal. Tidak ada pesta mewah, tidak ada perayaan besar. Hanya sekumpulan orang yang hadir karena sopan santun, bukan karena cinta.
Jeffrie berdiri di tepi makamnya, menatap batu nisan bertuliskan namanya. “Lihat, Kol. Tak peduli seberapa kaya atau sombong lo, akhirnya lo tetap nyungsep di tanah ini.”
Jeffrie menaburkan bunga, lalu tersenyum getir. “100 tahun lagi, siapa yang peduli dengan lo? Nama lo mungkin bahkan tak lagi disebut.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan batu nisan itu. Angin bertiup pelan, seakan membisikkan sebuah kebenaran yang tak bisa dibantah:
Tak peduli seberapa tinggi manusia berdiri, pada akhirnya, tanah tetap menunggu.
Refleksi Keras Bagi yang Masih Hidup
Jeffrie meninggalkan makam itu dengan satu pikiran: Berapa banyak SomKol di dunia ini?
Mereka yang merasa abadi, menimbun kekayaan, berkuasa tanpa peduli, dan menganggap Tuhan sekadar cerita lama. Orang-orang yang sibuk membangun istana di dunia, padahal akhirnya semua berujung di liang lahat, dalam poci atau hilang di telan angin...
Orang sombong sering lupa bahwa kuburan tak pernah membeda-bedakan. Sehebat apapun seseorang, ujungnya tetap sama: dimakan cacing atau jadi abu. Dan yang lebih hebatnya lagi " Bilatung adalah sahabat anda dalam kubur", serta yang paling tidak dimengerti untuk setiap manusia yang sombong di masa hidupnya dan belum bertobat adalah : " Kemana aku pergi setelah aku mati ?, hanya ada dua kemungkinan, ke Surga dimulia atau neraka jahanam ... itu tergantung dari perbuatan semasa hidupnya... apakah sempat bertobat dan menjalankan konsekwensi pertobatan... atau sombong sampai akhir hayat? dan anda harus TAHU.. bahwa walaupun Anda sudah mati.. KESADARAN itu masih ada.., untuk itu BERTOBATLAH selagi MASIH ada waktu... , TUHAN akan menghitung hasil akhir , Tuhan akan senang MANTAN orang berdosa yang bertobat dan kembali ke jalanNYA dari pada Mantan orang baik... Sadari itu sebelum terlambat...
Pernahkah kita bertanya, untuk apa semua kesombongan ini? Apa yang tersisa setelah kita tiada? Nama besar? Harta yang diwariskan? Kekuasaan yang direbut orang lain? Semua fana, semua lenyap.
Yang benar-benar tertinggal hanyalah perbuatan baik, doa orang-orang yang mencintai kita, dan hubungan kita dengan Tuhan.
Jadi sebelum hidup mengajarkan pelajaran pahit seperti SomKol, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri:
100 tahun lagi, kita ada di mana? Diingat sebagai kebaikan, atau hanya jadi kenangan yang segera dilupakan?